Tamoranews.com - Petasan sebenarnya bagian dari kebudayaan China yang kemudian ditiru oleh pribumi Batavia alias Betawi. Pada abad ke-16 dan 17, masyarakat Tionghoa menyalakan petasan untuk mengusir makhluk penganggu (Nian) yang mereka percaya selalu muncul pada Tahun Baru Imlek.
Bunyi petasan digunakan untuk mengusir setan, iblis, jin, dan roh jahat lain yang membawa sial, dan menyebarkan penyakit saat hajatan.
Namun setelah petasan masuk ke tanah Betawi dan menyebabkan kebakaran kebun miliki tuan tanah serta pemerintah, maka pada 1650, penguasa VOC melarang pembakaran petasan, terutama saat musim kemarau.
Petasan dilarang karena faktor keamanan dan saat itu penguasa VOC sulit membedakan ledakan petasan, dengan letusan senjata api. Ketakutan VOC bisa dipahami karena orang-orang Tionghoa pernah menggunakan petasan sebagai senjata perlawanan. Banyak tentara terpaksa lari terbirit-birit mengira bunyi senapan.
Dikutip laman Cintebetawi.com, tradisi petasan yang meriah itu akhirnya ditiru masyarakat Betawi. Dalam tradisi Betawi, petasan umumnya dinyalakan menjelang pesta perkawinan atau khitanan.
Dalam masyarakat Betawi, petasan berfungsi sebagai alat komunikasi, misalnya untuk memberitahu khalayak ramai dan para undangan bahwa pesta pernikahan atau khitanan segera dimulai.
Meski sudah melekat menjadi tradisi hingga kini, namun petasan tetap dilarang. Sejak 1987 larangan petasan sudah dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta yang menjabat saat itu,Wiyogo Atmodarminto.
Larangan itu berasalan karena banyak memakan korban, harta benda, dan menurutnya petasan merupakan salah satu bentuk pemborosan. Namun kebiasaan membakar petasan tetap sulit dibendung.
Bagi orang Betawi tradisi menyalakan petasan sudah membudaya, sebagai salah satu unsur yang ikut meramaikan suasana. Rentetan bunyi petasan dalam sebuah hajatan, menjadi sebagai simbol status sosial seseorang di masyarakat dan penanda rasa syukur.
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon