Latip Yulus mengaduk-aduk kopi campuran racikannya. Sesekali, ia mendekatkan hidungnya dan mencium uap aroma yang menguar dari cairan berwarna hitam pekat itu. "Kopi yang bagus aromanya tak terlalu kuat," begitu kata Ayouw, sapaan akrab Latip.
Bagi pria berusia 62 ini, membuat kopi bukan perkara yang mudah. Dia hanya mau meracik kopi dengan kualitas jempolan. Pria keturunan Tionghoa ini tak mau meracik kopi sembarangan yang dijajakan di pertokoan. Apalagi merasakan kopi instan sachet.
Di warung kopinya, Es Tak Kie, yang terletak di Jalan Pintu Besar 3, Gang Gloria, Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat, Ayouw memang hanya menyediakan kopi berkualitas. Lima varian kopi dari Lampung, Toraja, dan Padang, dia campurkan. "Karena kalau diseduh satu-satu, rasanya kurang mantap," katanya menjelaskan.
Dibesarkan dari keluarga penjual kopi, membuat Ayouw tahu seperti apa kopi berkualitas jawara. Terlebih sudah 40 tahun lebih, dia berkecimpung meneruskan usaha yang dirintis kakeknya, Liong Kwie Tjong, sejak 1927 itu. "Saya selalu mencari kopi yang bagus, kalau tak bagus saya enggak mau," katanya sambil menggeleng.
Untuk menghasilkan campuran kopi istimewa itu, Ayouw juga hanya mau berbelanja kopi yang masih berbentuk biji. Sebab, jika sudah menjadi bubuk, kualitasnya diragukan. "Saya tak tahu itu campuran apa saja," ucapnya.
Untuk menyeduhnya pun, pria yang hampir seluruh rambutnya telah beruban ini punya trik tersendiri. Agar menghasilkan cita rasa yang maksimal, usai diberi air panas dan diaduk, gelas berisi kopi itu terlebih dahulu dia tutup. "Karena kalau enggak ditutup, enggak jadi kopinya," ujar dia.
Ayouw mesti menutup gelasnya sekitar sepuluh menit. Di sela itu, dia sesekali mengaduk-aduk kopi campurannya tersebut.
Dan benar saja, setiap kali diaduk, aroma yang keluar menjadi berbeda, semakin harum. Rasanya juga bertambah nikmat.
Usai melalui proses ini, kopi baru bisa diberi susu atau pun gula, sesuai selera pelanggan. Namun, tanpa diberi gula atau pemanis lainnya pun, kopi bikinan Ayouw sudah mengeluarkan sedikit rasa manis. "Rasanya pahitnya bikin nagih," kata Wulan, satu konsumen yang baru mencoba menikmati kopi itu.
Maka tak heran, meski pun kedai-kedai kopi modern banyak bermunculan di Jakarta, warung kopi Ayouw masih punya banyak pelanggan. Menurut dia, pelanggannya berasal mulai dari mahasiswa, dosen, guru, pegawai, sampai tukang ronda. Selain karena harga kopinya yang relatif lebih murah, yakni berkisar Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu per gelas besar, mereka juga setia karena rasa kuno yang ditawarkan Ayouw. "Mereka kembali lagi ke sini karena bosan dengan kopi modern," katanya.
Apalagi, suasana kedai milik keluarga Ayouw yang dibuka dari jam 06.30 sampai 14.00 itu cukup mendukung suasana kuno ini. Meja dan kursinya, masih terbuat dari kayu. Usianya pun sudah puluhan tahun. "Sejak saya lahir, sudah pakai kursi kayu jati ini," ujarnya menambahkan.
Selain dari kalangan itu, penikmat kopi Tak Kie juga ada yang berasal dari golongan orang terkenal, seperti artis Widyawati, pebulu tangkis Lim Swie King, Menteri Pariwisata Marie Elka Pangestu, dan calon Gubernur Jakarta Jokowi. "Dulu sebelum pemilihan putaran pertama Jokowi ke sini," katanya sambil memperlihatkan foto Jokowi yang tengah menikmati kopi.
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon