Tamoranews.com -
Smartphone sudah jadi kebutuhan primer bagi tiap orang, sekaligus jadi perangkat yang dipenuhi kemewahan bagi mereka yang menyukainya. Banyak tren smartphone tercipta dari berbagai pabrikan smartphone, untuk membuat perangkat buatannya nampak paling canggih.
Kita bisa lihat, semua smartphone papan atas mengusung kamera terbaik, dapur pacu gahar, fingerprint sensor. Dari sini, semua berlomba-lomba untuk jadi beda. Masalahnya, ada yang berhasil ada yang tidak. Yang tak berhasil justru menghasilkan tren yang aneh.
Berikut adalah beberapa tren yang disematkan di smartphone papan atas, namun ternyata tak begitu fungsional, bahkan merugikan. Simak ulasannya!
1. Dihilangkannya headphone jack dari iPhone 7
Kita pasti setuju kalau teknologi nirkabel memang lebih baik dari yang masih berkabel. Sehingga wajar jika Apple menggiring kita untuk masuk ke teknologi smartphone yang makin tak berkabel dengan menghilangkan headphone jack di iPhone 7.
Namun, hal ini ternyata sangat mengganggu di beberapa pengguna. Kebiasaan menggunakan earphone atau headphone berkabel ternyata posisinya tak tergantikan. Tentu jauh lebih melegakan untuk mendengarkan musik dari earphone yang benar-benar menancap pada sumber musik kita. Selain itu, tampilan futuristik yang ditawarkan earphone nirkabel tak se-stylish earphone berkabel.
Dari sisi teknologinya, ternyata pengkoneksian earphone nirkabel dengan smartphone melalui Bluetooth juga bukan ide yang disukai banyak orang. Pasalnya, berbagai kendala sinkronisasi juga sering melanda.
Jadi sepertinya dalam beberapa tahun mendatang, headphone jack masih jadi pilihan pabrikan untuk disematkan di produk smartphone mereka.
2. Tren smartphone tipis namun mengorbankan baterai
Untuk banyak para pengguna smartphone, hal paling penting adalah baterai. Hal ini merupakan sesuatu yang tak terasa di awal, namun setelah beberapa bulan pemakaian, kita sadar kalau belum sampai sore saja smartphone sudah minta untuk diisi daya.
Ternyata sedikit banyak, hal ini terpengaruh dari tren menipisnya ukuran smartphone. Kapasitas yang besar dari baterai dikorbankan untuk menipisnya ukuran smartphone. Hal ini sebenarnya melalui beberapa langkah, mulai dari membuat smartphone dengan desain unibody, lalu membuat baterai tidak removable, lalu mempertahankan kapasitas tidak seberapa besar agar tidak 'menggemukkan' smartphone.
Ada banyak produsen smartphone yang akhirnya punya produk laris manis di pasaran, hanya karena punya baterai kapasitas tinggi atau mengusung removable, dengan mengabaikan desain atau ukuran smartphone.
3. Game gratisan
Mari kita sedikit keluar dari aspek hardware atau fitur smartphone, karena game smartphone juga merupakan tren smartphone yang cukup merugikan. Google Play Store dan App Store dipenuhi oleh game-game gratis yang seru dan menyenangkan untuk dimainkan. Masalahnya, itu tak benar-benar gratis.
Selalu ada sesuatu yang dilakukan game tersebut agar kita 'terpaksa' membayar. Salah satu yang jadi pengalaman saya sendiri adalah bermain Candy Crush Saga, yang populer sekitar tiga tahun lalu. Game tersebut sangat mudah membuat kita ketagihan, namun makin lama dimainkan, permainan akan makin sulit. Semua item sudah kita keluarkan, namun kita masih jauh dari kemenangan. Hal ini membuat kita terpaksa untuk membeli item-item tertentu yang sedikit menguras kantung.
Sayangnya, praktik yang terjadi sekitar 3 tahun lalu ini, makin lama makin jadi tren. Banyak sekali game yang mengusung pola yang sama. Makin sulit, dan untuk memecahkannya Anda harus merogoh kocek. Namun mungkin ini adalah harga yang harus dibayar karena Anda memasang game gratisan.
4. Konsep modular
Smartphone dengan konsep modular, atau bisa digonta-ganti komponennya, adalah ide brilian yang ternyata tak praktis dan tak 'dibeli' oleh masyarakat. Terbukti dari matinya Project ARA dari Google serta gagalnya LG G5 dalam sektor penjualan.
Ternyata konsep modular tentu dianggap teknologi sampingan oleh para pengguna. Performa smartphone asli tetaplah yang utama. Hal inilah yang ternyata gagal ditampilkan oleh LG G5 pada tahun lalu, hingga LG V20 dirilis di tahun yang sama.
Kini, Moto Z mengusung teknologi serupa, dengan mengusung banyak aksesoris yang bisa digonta-ganti. Namun sepertinya aspek kehebatan performa smartphone tak diabaikan oleh perusahaan smartphone yang telah diakuisisi Lenovo tersebut. Hal ini terbukti denganperforma Moto Z di AnTuTu benchmark yang menempati posisi 5 smartphone terbaik saat ini.
5. Setahun menelurkan 2 flagship
Merilis lebih dari satu flagship setahun, dilakukan beberapa pabrikan seperti Samsung dan Huawei. Mungkin tak ada masalah akan hal tersebut, dua contoh yang saya sebutkan adalah salah satu pabrikan smartphone terbesar di dunia, di mana Apple jadi salah satu yang terbesar juga.
Meski terlihat sangat mumpuni untuk merilis dua flagship per tahunnya, hal tersebut juga menimbulkan masalah. Di Huawei terlihat tak ada masalah kecuali 'kesadaran merek' yang tertanam di masyarakat cukup kecil. Namun di Samsung, tragedi besar seperti tahun lalu terjadi. Karena mempercepat proses produksi baterai di pihak ketiga, banyak laporan bahwa Galaxy Note 7 meledak, yang membuat Samsung rugi sampai 93 Triliun Rupiah.
Agaknya produsen smartphone harus belajar ke Apple untuk merilis smartphone yang hanya dilakukan kurang dari 2 tahun sekali.
Kita bisa lihat, semua smartphone papan atas mengusung kamera terbaik, dapur pacu gahar, fingerprint sensor. Dari sini, semua berlomba-lomba untuk jadi beda. Masalahnya, ada yang berhasil ada yang tidak. Yang tak berhasil justru menghasilkan tren yang aneh.
Berikut adalah beberapa tren yang disematkan di smartphone papan atas, namun ternyata tak begitu fungsional, bahkan merugikan. Simak ulasannya!
1. Dihilangkannya headphone jack dari iPhone 7
Kita pasti setuju kalau teknologi nirkabel memang lebih baik dari yang masih berkabel. Sehingga wajar jika Apple menggiring kita untuk masuk ke teknologi smartphone yang makin tak berkabel dengan menghilangkan headphone jack di iPhone 7.
Namun, hal ini ternyata sangat mengganggu di beberapa pengguna. Kebiasaan menggunakan earphone atau headphone berkabel ternyata posisinya tak tergantikan. Tentu jauh lebih melegakan untuk mendengarkan musik dari earphone yang benar-benar menancap pada sumber musik kita. Selain itu, tampilan futuristik yang ditawarkan earphone nirkabel tak se-stylish earphone berkabel.
Dari sisi teknologinya, ternyata pengkoneksian earphone nirkabel dengan smartphone melalui Bluetooth juga bukan ide yang disukai banyak orang. Pasalnya, berbagai kendala sinkronisasi juga sering melanda.
Jadi sepertinya dalam beberapa tahun mendatang, headphone jack masih jadi pilihan pabrikan untuk disematkan di produk smartphone mereka.
2. Tren smartphone tipis namun mengorbankan baterai
Untuk banyak para pengguna smartphone, hal paling penting adalah baterai. Hal ini merupakan sesuatu yang tak terasa di awal, namun setelah beberapa bulan pemakaian, kita sadar kalau belum sampai sore saja smartphone sudah minta untuk diisi daya.
Ternyata sedikit banyak, hal ini terpengaruh dari tren menipisnya ukuran smartphone. Kapasitas yang besar dari baterai dikorbankan untuk menipisnya ukuran smartphone. Hal ini sebenarnya melalui beberapa langkah, mulai dari membuat smartphone dengan desain unibody, lalu membuat baterai tidak removable, lalu mempertahankan kapasitas tidak seberapa besar agar tidak 'menggemukkan' smartphone.
Ada banyak produsen smartphone yang akhirnya punya produk laris manis di pasaran, hanya karena punya baterai kapasitas tinggi atau mengusung removable, dengan mengabaikan desain atau ukuran smartphone.
3. Game gratisan
Mari kita sedikit keluar dari aspek hardware atau fitur smartphone, karena game smartphone juga merupakan tren smartphone yang cukup merugikan. Google Play Store dan App Store dipenuhi oleh game-game gratis yang seru dan menyenangkan untuk dimainkan. Masalahnya, itu tak benar-benar gratis.
Selalu ada sesuatu yang dilakukan game tersebut agar kita 'terpaksa' membayar. Salah satu yang jadi pengalaman saya sendiri adalah bermain Candy Crush Saga, yang populer sekitar tiga tahun lalu. Game tersebut sangat mudah membuat kita ketagihan, namun makin lama dimainkan, permainan akan makin sulit. Semua item sudah kita keluarkan, namun kita masih jauh dari kemenangan. Hal ini membuat kita terpaksa untuk membeli item-item tertentu yang sedikit menguras kantung.
Sayangnya, praktik yang terjadi sekitar 3 tahun lalu ini, makin lama makin jadi tren. Banyak sekali game yang mengusung pola yang sama. Makin sulit, dan untuk memecahkannya Anda harus merogoh kocek. Namun mungkin ini adalah harga yang harus dibayar karena Anda memasang game gratisan.
4. Konsep modular
Smartphone dengan konsep modular, atau bisa digonta-ganti komponennya, adalah ide brilian yang ternyata tak praktis dan tak 'dibeli' oleh masyarakat. Terbukti dari matinya Project ARA dari Google serta gagalnya LG G5 dalam sektor penjualan.
Ternyata konsep modular tentu dianggap teknologi sampingan oleh para pengguna. Performa smartphone asli tetaplah yang utama. Hal inilah yang ternyata gagal ditampilkan oleh LG G5 pada tahun lalu, hingga LG V20 dirilis di tahun yang sama.
Kini, Moto Z mengusung teknologi serupa, dengan mengusung banyak aksesoris yang bisa digonta-ganti. Namun sepertinya aspek kehebatan performa smartphone tak diabaikan oleh perusahaan smartphone yang telah diakuisisi Lenovo tersebut. Hal ini terbukti denganperforma Moto Z di AnTuTu benchmark yang menempati posisi 5 smartphone terbaik saat ini.
5. Setahun menelurkan 2 flagship
Merilis lebih dari satu flagship setahun, dilakukan beberapa pabrikan seperti Samsung dan Huawei. Mungkin tak ada masalah akan hal tersebut, dua contoh yang saya sebutkan adalah salah satu pabrikan smartphone terbesar di dunia, di mana Apple jadi salah satu yang terbesar juga.
Meski terlihat sangat mumpuni untuk merilis dua flagship per tahunnya, hal tersebut juga menimbulkan masalah. Di Huawei terlihat tak ada masalah kecuali 'kesadaran merek' yang tertanam di masyarakat cukup kecil. Namun di Samsung, tragedi besar seperti tahun lalu terjadi. Karena mempercepat proses produksi baterai di pihak ketiga, banyak laporan bahwa Galaxy Note 7 meledak, yang membuat Samsung rugi sampai 93 Triliun Rupiah.
Agaknya produsen smartphone harus belajar ke Apple untuk merilis smartphone yang hanya dilakukan kurang dari 2 tahun sekali.
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon