ilustrasi orang pendek |
Tamoranews.com - Penampakan Suku Mante di dataran tinggi Aceh, beberapa waktu lalu mencuri perhatian publik. Penampakan sesosok manusia dengan postur tubuh pendek, yang berlari cepat menimbulkan misteri.
Ada yang meyakini, Suku Mante tersebut adalah suku yang punah dan muncul kembali secara tak sengaja. Suku Mante dianggap sebagai manusia kerdil, atau orang pendek yang mendiami wilayah Aceh.
Pakar antropologi Harry Truman Simanjuntak menanggapi hebohnya perbincangan Suku Mante tersebut. Dia merasa tak yakin, penampakan yang dilihat oleh para biker di Aceh itu adalah sosok manusia kerdil, atau orang pendek di Tanah Rencong.
Dia berpendapat, dengan kondisi tanah dan hutan Aceh yang sudah banyak dijamah manusia, peluang untuk hidup manusia kerdil itu di wilayah tersebut cukup kecil.
"Setiap saat, hutan Aceh sudah dijelajahi manusia, kenapa baru sekarang itu ketemu. Saya kok, enggak yakin masih ada di situ," ujar Harry.
Harry berpendapat, ada yang aneh jika memang penampakan itu adalah benar manusia kerdil di Aceh. Menurutnya, dengan begitu banyak sentuhan peradaban dari luar yang tiap hari masuk ke wilayah hutan Aceh, seharusnya Suku Mante sudah ditemukan, atau terlacak sejak lama. Namunm nyatanya Suku Mante baru diketahui seumur jagung tersebut.
Mantan Kepala Pusat Arkeologi Nasional itu mengatakan, keanehan itu tak terjadi pada suku terpencil lainnya di Indonesia. Meskipun hidup menyendiri dengan kelompoknya, suku terpencil sudah lama terdeteksi dan diketahui. Harry mencontohkan keberadaan Suku Anak Dalam di Jambi.
Harry menjelaskan, umumnya keberadaan manusia kerdil sudah punah, dan yang masih bertahan tergolong sedikit. Dia menyebutkan, salah satu komunitas manusia kerdil yang ada, yakni di Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur. Suku ini punya karakteristik tinggi badan 1 meter sampai 1,5 meter.
Selain di Flores, kelompok manusia kerdil yang masih eksis saat ini ada di Kepulauan Andaman, India, orang Agta di Filipina, dan orang Semang di Malaysia.
Bedanya, orang pendek di Flores, Andaman, dan Semang, sudah berbaur dengan suku lainnya, meskipun ada yang hidupnya memilih memencil. Misalnya, orang Agta telah berbaur dengan orang ras Mongoloid. Sementara itu, orang pendek di Andaman, sudah berbaur dengan ras lainnya, meski hidup terpencil.
"Aceh kan dekat dengan Andaman, mungkin ada (hubungan) ras, atau subras itu," kata dia.
Postur tubuh manusia kerdil, menurutnya, terjadi akibat adanya penyimpangan biologi dalam evolusi manusia atas kondisi lingkungan dan percampuran, sehingga sampai dalam ukuran tersebut.
Cerita rakyat
Antrolopog Universitas Indonesia itu mengatakan, Suku Mante memang telah disinggung dan disebutkan dalam literatur. Namun, pembahasan Suku Mante lebih condong ke cerita rakyat, atau folklor.
Dalam literatur, soal Suku Mante sudah diangkat oleh ahli Belanda pada era 1920-an. Bagi ahli Belanda dan masyarakat Aceh, Suku Mante dianggap sebagai leluhur orang Aceh Asli. Tetapi, sejauh ini bukti keberadaan Suku Mante yang jadi legenda itu tak pernah diperoleh peneliti, atau ahli pada saat ini.
"Di perbatasan Sumatera Barat dan Jambi, ada folklor juga. Sewaktu-waktu muncul katanya, tetapi dicari dan ditanya peneliti, tak pernah jelas buktinya. Saya khawatir ini (cerita Suku Mante) dihidupkan lagi," ujar dia.
Selain perdebatan benar, atau tidak penampakan tersebut adalah Suku Mante, Harry menuturkan, para ahli juga masih berdebat. Apakah postur manusia dengan tubuh pendek yang ada di Indonesia, masuk dalam golongan gas, atau subras? Ada ahli yang memasukkan ke dalam kelompok ras, tetapi ahli lainnya menyebutnya sebagai subras.
Harry mengatakan, jika ditarik jauh ke belakang, ras, atau subras di Asia Tenggara, yang punya penampilan postur tubuh pendek punya kesamaan karakteristik, di antaranya kulit, rambut kriting. Sebagian ahli menyebut orang kerdil ini sebagai sisa ras Negrito, sebagian lain menyebutnya sebagai subras dari Austranomelanesia, yang dijumpai di Kepulauan Andaman.
Awal mula manusia pendek di Indonesia
Harry mengatakan, jika ditarik jauh ke belakang, awal mula munculnya manusia kerdil bisa dilacak sejak 60 ribu tahun lalu, saat manusia modern, atau Homo sapien menyebar ke seluruh wilayah dunia dari Afrika.
Pada masa itu, makin menyebar manusia modern makin mengalami deviasi genetik, sehingga makin berbeda dengan ciri khas leluhurnya. Pada 60 ribu tahun lalu, setidaknya ada tiga ras besar yang telah menyebar dan berkembang yakni ras Austranomelanesia, ras mongoloid, dan ras kaukasoid.
Saat itu, manusia yang berkembang di Eropa dan Asia, tampil dengan ciri khasnya masing-masing sesuai dengan lingkungan mereka hidup.
Kemudian, pada 12 ribu tahun lalu, pada akhir zaman es, manusia yang berkembang saat itu sudah berbeda dengan ciri awalnya. Ras Austranomelanesia mulai masuk ke Asia Tenggara dan ras Mongoloid masuk ke Asia Timur.
Dalam perkembangannya, ada bagian dari ras Austranomelanesia yang memiliki variasi biologi berbeda, yang kemudian disebut Negrito.
Harry mengatakan, populasi orang Negrito tak banyak, hanya mendiami area tertentu. Ciri Negrito sama seperti orang kerdil yang ada saat ini. Negrito mendiami wilayah kantung tertentu yakni di Filipina, Andaman dan Malaysia.
Sementara itu, ras Mongoloid masuk ke wilayah nusantara sekitar 4000 tahun lalu.
"Ras Mongoloid ini masuk ke Indonesia, ada yang bertutur Austro-asiatik, atau Asia Tenggara daratan," jelas Harry.
Sebelum datangnya ras Mongoloid ke wilayah nusantara, ras Austranomelanesia telah mendiami hampir seluruh kepulauan Nusantara. Saat ras Mongoloid datang ke Nusantara, perlahan-lahan ras Austromelanesia bergeser ke wilayah Timur Indonesia.
Untuk itu, Harry mengatakan, penduduk bagian barat wilayah Indonesia saat ini merupakan percampuran antara ras Mongoloid dan Austromelanesia.
"Yang tinggal di barat Indonesia, itu kalau diuji DNA-nya, ada unsur Austranomelanesia meskipun kecil yakni 1-3 persen," kata dia.
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon