Tamoranews.com - Di sebuah pedalaman China, tepatnya di Provinsi Kwang Tung, lahirlah seorang anak laki-laki pada 1860 bernama Tjong A Fie. Hidup di sebuah keluarga yang serba kekurangan, tidak menghambatnya untuk tumbuh menjadi sosok cerdas.
Walau hanya mendapat pendidikan seadanya, Tjong A Fie tetap mampu menguasai berbagai kiat-kiat dagang yang diturunkan dari ayahnya, seorang pedagang tulen. Tinggal dengan keluarga berjumlah 9 orang, membuat Tjong A Fie harus saling berbagai dengan saudaranya.
Beranjak dewasa, A Fie yang memiliki cita-cita tinggi itu akhirnya memutuskan untuk merantau seperti abangnya, Tjong Yong Hian. Di umur 18 tahun, A Fie meninggalkan kampung halamannya menuju ke Swatow untuk naik ke sebuah jung atau kapal menuju Tanah Deli, Sumatera Utara, Indonesia.
Sesampainya di Deli, ia pun sadar harus hidup mandiri dan memulai segalanya dari nol. Satu-satunya keahlian yang dimilikinya saat itu hanya berdagang. Seorang pemilik toko kelontong bernama Tjong Sui Fo akhirnya mempekerjakannya. Tak butuh lama bagi Tjong A Fie muda untuk sukses di bidang perdagangan.
Usaha Tjong Sui Fo pun mengalami banyak kemajuan sejak kedatangannya. Nama Tjong A Fie pun semakin dikenal ketika dia menunjukkan kemampuannya dalam menjalin relasi. Dia mudah bergaul dan berteman dengan orang-orang dari berbagai bangsa yang beraneka ragam.
Mulai dari kalangan Melayu yang kebanyakan adalah para tengku dari kerabat kaum bangsawan Tanah Deli, orang-orang Arab, orang-orang India dan juga orang-orang Belanda. Dia pun belajar bahasa Melayu yang dianggapnya sangat penting. Hampir setiap hari, dia mulai berbahasa Melayu demi tujuan agar cepat akrab dengan masyarakat sekitar.
Bahkan kepintarannya dalam berdagang dan bergaul menjadi kunci sukses Tjong A Fie untuk dekat dengan keluarga Kesultanan Deli. Saat itu Kesultanan Melayu Deli memang tengah berada di puncak kejayaannya.
Sultan Makmoen Al Rasjid Perkasa Alamsyah dan Tuanku Raja Muda membuka pintu bisnis untuk Tjong A Fie. Dia diberi konsesi penyediaan atap daun nipah untuk pembuatan bangsal perkebunan tembakau.
Tak hanya perkebunan tembakau, A Fie memiliki perkebunan teh, kelapa, karet, dan kopi hingga harus merekrut sebanyak 10 ribu pekerja untuk mengurus perkebunannya tersebut.
Di sektor perbankan, Tjong A Fie berkongsi dengan pengusaha dari Penang, Tio Tiaw Siat, mendirikan Bank Deli pada 1907. Bank ini sangat penting bagi pengembangan usahanya. Kemudian pada 1916, bersama Mayor Khouw Kim An, Kapiten Lie Tjian Tjoen dan kawan-kawan mendirikan Batavia Bank. Tjong A Fie memiliki sepertiga sahamnya.
Bukan hanya di Hindia Belanda, usaha Tjong A Fie juga melebar hingga ke tanah leluhurnya. Bersama Tjong Yong Hian dan pamannya Chang Pi Shih, mereka mendirikan perusahaan kereta api The Chow-Chow & Swatow Railyway Co Ltd di China Selatan. Hal itu yang membuatnya berkesempatan bertemu muka dengan Ibu Suri Cixi di Beijing.
Tanpa pandang bulu
Berasal dari keluarga yang kurang berada, membuat Tjong A Fie memiliki sifat sosial yang tinggi. Banyak kegiatan sosial yang dilakukannya demi membantu kehidupan masyarakat sekitar. Dia seringkali memberi santunan kepada fakir miskin dan anak-anak yang kurang mampu.
Selain itu, pembangunan tempat-tempat ibadah merupakan hal lazim yang dilakukan Tjong A Fie. Tidak hanya masjid, tetapi gereja, kuil Hindu, dan kelenteng dibangunnya di berbagai tempat.
Dia berperan dalam mendirikan tempat ibadah yakni Masjid Raya Al-Mashum dan Masjid Gang Bengkok serta ikut merayakan hari-hari besar keagamaan bersama mereka. Bahkan ia tak ragu memberikan lima persen dari keuntungan bisnisnya kepada para pegawainya.
Akhir hayat sang Darwaman
Setumpuk cerita sukses Tjong A Fie akhirnya menemui ujungnya ketika ajal menjeput pada 1921. Tepatnya 4 Februari 1921, di umur 61 tahun, ia terjangkit penyakit Apopleksia atau pecah pembuluh darah di bagian otak.
Namun sebelum ia meninggal, A Fie sempat menulis banyak surat wasiat melalui notaris Dirk Johan Facquin den Grave. Salah satunya adalah tentang pembagian harta dan kewajiban keluarganya.
Surat wasiat nomor 67 itu mengungkapkan harapannya kelak untuk menjaga budaya dan kerukunan beragama yang telah dibangunnya, memajukan pendidiakn anak-anak Tjong A Fie, memberikan tunjangan pendidikan pada generasi muda yang berkelakuan baik tanpa membedakan agama, suku atau golongan, dan memberikan sedekah kepada orang yang membutuhkan.
Selain itu, ia mewasiatkan seluruh kekayaannya di Sumatera maupun di luar Sumatera untuk diberikan kepada Yayasan Toen Moek Tong yang kini merawat rumah peninggalan Tjong A Fie untuk istrinya bernama Tjong A Fie Mansion.
Dibangun pada tahun 1900 dan dibuka untuk umum pada 18 Juni 2009 sebagai Tjong A Fie Memorial Institute. Rumah dengan perpaduan gaya arsitek Tionghoa, Eropa, Melayu dan Art-deco menarik banyak wisatawan dalam maupun luar negeri.
Rumah yang sekarang dialihfungsikan sebagai museum ini menyuguhkan sejarah kehidupan Tjong A Fie melalui foto, lukisan serta peninggalan bersejarah lainnya. (Berbagai Sumber)
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon