-->

Jumat, 31 Agustus 2012

Kebiasaan Merokok di Negara Berkembang

author photo
40 persen pria di negara berkembang merokok atau mengkonsumsi tembakau. Sementara perempuan yang mulai merokok bertambah muda. Hasil studi internasional menyimpulkan "skema membahayakan“ konsumsi tembakau.
Meskipun upaya anti merokok digencarkan di seluruh dunia, kebanyakan negara berkembang memiliki angka berhenti merokok yang rendah. Demikian menurut hasil studi yang dipublikasikan jurnal kesehatan The Lancet, Jumat (17/08).




Studi di 16 negara yang meliputi penduduk sebanyak tiga milyar jiwa, menemukan 48,6 persen total penduduk pria dan 11,3 persen penduduk perempuan, mengkonsumsi tembakau. Terutama di negara-negara ekonomi lemah anak perempuan yang merokok dalam usia dini makin meningkat dan seringkali pada usia yang sama dibanding dengan anak laki-laki.


Data tersebut berasal dari studi kebiasaan merokok di antara warga berusia di bawah 15 tahun yang dilakukan di Bangladesh, Brasil, Cina, Mesir, India, Meksiko, Filipina, Thailand, Turki, Ukraina, Uruguay dan Vietnam. Demikian pula di Inggris, Polandia, Rusia dan Amerika Serikat, yang dilakukan antara tahun 2008 hingga 2010.
Studi itu mencakup kebiasaan merokok demikian pula mengunyah tembakau serta menghisap tembakau (snuff).
Angka teratas konsumsi tembakau adalah Rusia, dimana 39,1 persen penduduk di atas usia 15 tahun mengkonsumsinya. Disusul Turki (31,2 persen), Polandia (30,3 persen), Filipina (28,2 persen) dan Cina dengan 28,1 persen.
Sementara di Inggris konsumsi tembakau tercatat 21,7 persen dan di Amerika Serikat 19,1 persen.
Perbedaan Kebiasaan Merokok dan Upaya Pelarangan
Ada perbedaan besar angka kebiasaan merokok bila ditinjau dari segi jender dan bangsa, demikian pula dari segi akses melaksanakan upaya anti merokok yang efektif.
Meskipun sejak tahun 2008, pelaksanaan kebijakan pengawasan tembakau paling efektif sudah meliputi 1,1 milyar orang, masih ada 83 persen populasi penduduk dunia yang belum menerapkan dua atau tiga hal dari kebijakan ini. Demikian dikatakan Gary Giovino dari Universitas Buffalo di New York, yang memimpin studi tersebut.
Parameter upaya kebijakan tersebut juga termasuk larangan merokok di tempat umum, melarang iklan rokok yang mencolok, dan meminta tanda gambar peringatan kesehatan lebih besar pada kotak rokok.
Hasil studi tersebut terungkap tidak lama setelah perusahaan-perusahan tembakau besar dunia seperti British American Tobacco, Imperial Tobacco, Philip Morris dan Japan Tobacco kehilangan hak menampilkan logo merknya di Australia pekan ini, setelah dikeluarkannya peraturan tampilan kemasan rokok yang netral di negara itu.

This post have 0 komentar


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post