Obat pereda nyeri seringkali dijadikan 'jalan pintas' bagi orang-orang yang tak kuat menahan rasa nyeri pada tubuhnya. Padahal efek sampingnya cukup beragam. Salah satunya merusak performa seksual pria.
Menurut sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Spine ini, pria yang mengonsumsi obat pereda nyeri dosis tinggi dan dalam kurun waktu panjang lebih cenderung mengalami disfungsi ereksi (ED). Kesimpulan ini diperoleh setelah peneliti mengamati rekam medis 11.000 pria yang mengonsumsi obat pereda nyeri atau opioid yang diresepkan dokter seperti oxycodone untuk mengobati nyeri punggung kronis.
Dari situ diketahui pria yang mengonsumsi obat pereda nyeri berdosis tinggi selama lebih dari empat bulan 50 persen lebih mungkin membutuhkan pengobatan untuk mengatasi impotensinya ketimbang pria yang tidak meminum obat-obatan pereda nyeri. Pasien yang dianggap mengonsumsi opioid dosis tinggi diketahui mengonsumsi 80 miligram OxyContin perhari atau 120 miligram morfin.
Secara keseluruhan, 19 persen pria yang mengonsumsi opioid dalam kurun waktu lama terbukti mengalami disfungsi ereksi atau impotensi, tapi peneliti mengatakan jika jumlahnya bisa saja lebih tinggi dari itu.
"...karena banyak pria yang tak melaporkan efek ini pada dokter-dokternya, bisa jadi karena malu atau tak tahu jika pengobatannya berdampak terhadap performa seksualnya," tandas ketua tim peneliti Dr. Richard Deyo dari Kaiser Permanante Center for Health Research, Oregon Health & Science University, Portland Oregon, AS.
Menurut peneliti, opioid ternyata dapat menyebabkan perubahan kadar testosterone.
"Wajar jika orang-orang yang mengonsumsi opioid dalam jangka panjang mempunyai kadar testosterone di bawah normal. Belum lagi jika ditunjang faktor-faktor lainnya seperti depresi yang biasanya seringkali ditemukan pada pasien nyeri kronis juga dapat berkontribusi terhadap impotensi psien," timpal Deyo seperti dilansir Foxnews, Kamis (16/5/2013).
Bahkan Deyo dan rekan-rekannya juga menemukan bahwa pasien yang mengonsumsi opioid dalam periode yang panjang juga seringkali menjadi toleran terhadap obat-obatan tersebut, termasuk mengalami sensitivitas terhadap nyeri yang lebih besar dari waktu ke waktu.
"Pasien perlu mengetahui bahwa obat-obatan ini mungkin tak begitu efektif jika digunakan untuk mengobati nyeri kronis dalam jangka panjang. Mereka hanya efektif untuk nyeri jangka pendek," kata Deyo.
Jika tidak, peneliti menyarankan agar para dokter mendorong pasiennya menggunakan pengobatan alternatif untuk meredakan nyeri yang dialaminya. Salah satu yang tengah populer adalah kombinasi antara olahraga dengan terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy atau CBT).
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon