Tamoranews.com - Sejumlah sosok wanita Indonesia melakukan perlawanan sengit sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Para srikandi bermental baja itu mulai turun langsung ke medan perang, bukan hanya mengangkat senjata namun juga mempergunakan kecerdasannya untuk membuat strategi menolong masyarakat agar terbebas dari kekejaman penjajah.
Tak hanya pribumi, masyarakat pendatang seperti etnis Tionghoa pun mempunyai andil besar dalam perjuangan bangsa Indonesia. Adalah Auw Tjoei Lan, seorang wanita berdarah Tionghoa yang jasanya sangat besar untuk para wanita Indonesia.
Lahir di keluarga seorang pengusaha tebu sekaligus seorang Kapitan Tionghoa, Auw Tjoei Lan sejak dulu diajarkan peduli kemanusiaan oleh orangtuanya. Sejak kecil dia rajin melakukan kegiatan amal, menolong gelandangan, tuna netra, dan tuna wisma. Bahkan menyediakan mereka tempat tinggal.
Didasari pendidikan dari keluarganya itulah, ia menjadi seorang yang peduli dengan sesama tanpa memandang suku, ras, dan agama. Setelah menikah dengan pria bernama Lie Tjian Tjoen, seorang anak Mayor Tionghoa, dia pindah ke Batavia dan menekuni upaya pemberantasan perdagangan perempuan di sana.
Sebelumnya ia tidak tahu ternyata banyak gadis dibawah umur yang dijual oleh para muncikari untuk dijadikan pelacur di Batavia. Hingga pada suatu malam di tahun 1930an, wanita kelahiran Majalengka, 17 Februari 1889 itu menerima sebuah surat kaleng berisikan sebuah pesan dari seorang yang mengirimnya dari satu hotel di Kota.
Dalam surat tersebut tertulis bahwa sang pengirim membutuhkan pertolongannya segera. Setelah tiba di lokasi tersebut, ia melihat sebuah tong yang bergoyang. Benar saja yang dilihatnya adalah sosok gadis berusia 14 tahun yang baru datang dari Tiongkok.
Ia bersembunyi lantaran hendak dijual sebagai pelacur di Batavia. Tanpa pikir panjang, Auw Tjoei Lan langsung membawanya ke panti asuhan miliknya. Dari gadis tersebut, ia mendapat informasi mengenai perdagangan manusia yang berlangsung di Batavia.
Sebelum wanita yang dipanggil Nyonya Lie ini menjadi seorang aktivis kemanusiaan, ia bertemu dengan seseorang bernama Zigman, pengajar yang mengajarkannya bahasa dan kebudayaan Belanda. Zigman mengajak Lie untuk ikut mengurus Ati Soetji, sebuah organisasi bentukan Zigman.
Organisasi tersebut menampung para wanita yang terpaksa melacurkan diri karena kesulitan ekonomi dan beberapa di antara mereka adalah pendatang dari Tiongkok. Mereka dijual paksa untuk melacur di rumah-rumah bordil. Karena kegigihannya menyelamatkan gadis-gadis tersebut, Nyonya Lie kerap diancam orang muncikari yang merasa bisnis haramnya terancam.
Bahkan suatu ketika ada seorang muncikari mencekiknya karena tidak terima dengan upaya untuk membebaskan gadis yang akan dijadikan pelacur. Centeng, kaki tangan muncikari pun mengancam akan membunuh Nyonya Lie jika itu dilakukan lagi, namun dia tak gentar dengan ancaman itu.
Mewakili Wanita Indonesia
Pada Liga Bangsa-Bangsa Februari 1937, mereka menggelar konferensi perdagangan perempuan yang lama tidak digelar. Dalam konferensi tersebut, Nyonya Lie hadir mewakili Indonesia. Ia mengusulkan agar perempuan diberikan pendidikan khusus dan dipekerjakan sebagai reserse perempuan.
Usai mengemukakan pendapatnya di dalam konferensi tersebut, ia pun menjadi pusat perhatian dari banyak pihak. Bahkan polisi sering menggunakan jasanya untuk mencari keberadaan muncikari yang melakukan perdagangan manusia tersebut.
Banyak media perempuan seperti majalah istri dan Fu Len memujinya. Sampai-sampai pemerintah Belanda menganugerahinya bintang Ridder in de Orde van Oranje Nassau.
Yayasan Hati Suci
Perkumpulan Hati Suci bukan hanya bentuk perjuangan memberantas perdagangan perempuan yang bersifat sementara. Bahkan hingga saat ini, yayasan ini masih berdiri. bentuk perjuangan memberantas perdagangan perempuan yang bersifat sementara. Bahkan hingga saat ini, yayasan ini masih berdiri.
Pada 1929, Auw Tjoei Lan mendirikan sebuah bangunan di daerah Kebon Sirih. Jalan di depan bangunan ini kemudian diberi nama Hati Suci. Yayasan ini kemudian berkembang menjadi panti asuhan yang dapat menampung hingga 200 anak.
Yayasan tersebut memperhatikan perlindungan, kesehatan, asupan gizi, pendidikan, dan kehidupan sosial anak-anak asuhnya. Setiap hari Nyonya Lie datang untuk melihat anak-anak asuhnya maupun panti.
Begitu seorang anak dititipkan kepadanya, dia memeriksakan anak tersebut ke rumah sakit. Lalu setelah anak asuh sudah memasuki usia sekolah dasar, ia pun memasukkannya ke sekolah sampai tingkat lanjutan.
Namun saat masa kependudukan Jepang, masa tersulit itu tiba. Ia harus rela melihat sang suami dipenjara, bahkan Nyonya Lie pernah ditahan selama beberapa hari sampai keuangannya terus menurun dan menutup panti asuhannya.
Setelah kemerdekaan, Nyonya Lie berusaha membangun kembali panti asuhannya yang pernah tutup dan perjuangannya pun tidak sia-sia. Kini jejaknya masih terlihat dari panti asuhan serta bangunan sekolah, mulai dari taman kanak-kanak hingga menengah atas. Sampai ajal menjemputnya.
Auw Tjoei Lan meninggal pada 1965. Ia dimakamkan di Jati Petamburan dengan diantar oleh ribuan orang dari sanak saudara hingga mantan anak asuhnya. Meski jasadnya telah tiada, namun semangatnya tidak pernah padam dan perjuangannya tidak akan berhenti hingga tidak ada anak-anak Indonesia yang terlantar.
(berbagai sumber)
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon