Tamoranews.com -
Peredaran hoax dan fitnah yang kian masif harus ditangkal dengan strategi yang tak kalah agresif, yakni menggiatkan literasi digital, antara lain dimulai dari lingkungan pendidikan.
Dalam diskusi 'Strategi Menang Melawan Hoax dan Fitnah', Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Dr. Unifah Rosyidi mengatakan, PGRI bertanggungjawab mendidik 54 juta siswa agar mampu mengenali dan menghadapi hoax dan fitnah, baik itu berita maupun informasi.
"Kita siap mengadakan literasi digital untuk para guru. Namun kita butuh dukungan semua pihak. Banyak informasi aneh sekarang, belum lagi berita-berita bohong yang bisa memecah persatuan bangsa. Kami dari PGRI mengajak semua pihak, mari kita lindungi 54 juta siswa ini," jelas Unifah dalam diskusi yang digelar di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat pekan ini.
Direktur Eksekutif Institut Media Sosial dan Diplomasi Komunikonten Hariqo Wibawa Satria menjelaskan, siswa harus didorong jadi produsen konten sesuai minat dan bakatnya. Karenanya, pemerintah baik pusat dan daerah dan berbagai lembaga bisa memperbanyak lomba yang mengajak siswa memproduksi konten.
"54 juta siswa harus jadi pembuat konten, bukan sekadar penyebar. Mereka harus jadi generasi upload, bukan semata generasi download. Saya usul, agar siswa yang produktif memproduksi dan mengupload konten positif, inspiratif, kritik membangun di internet diberikan hadiah," ujarnya.
Ditambahkannya, perlu juga memanggil semua perusahaan jejaring sosial dan menagih komitmen mereka menghapus konten yang bersifat hoax dan fitnah. Hoax dan fitnah menurutnya bisa dideteksi dengan teknologi dan pemantauan manual.
"Jadi saran saya, Twitter, Facebook, Instagram, Google dan lain-lain harus menambah SDM untuk menangani hoax dan fitnah. Teknologi oke, tapi pemantauan manual tetap harus dilakukan," jelas Hariqo.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengatakan, melawan hoax adalah perjuangan panjang, harus tekun, konsisten, dan fokus dilakukan. Sebab, jangankan masyarakat umum, wartawan sekalipun bisa juga salah mengutip sumber berita, sehingga hoax menyebar di masyarakat.
Yosep menjelaskan berita bohong di media dibuat dengan berbagai tujuan, antara lain mendapatkan keuntungan dari kunjungan pembaca, orang iseng, dan ada juga hoax yang dibuat oleh kelompok bayaran. Masyarakat juga harus bisa membedakan, mana info media dan mana info berita, beda pers dan medsos, sehingga paham mana yang hoax dan mana yang fakta.
"Kita berharap jangan ada lagi kejadian seperti pengumuman hasil pilpres 2014, maksudnya ada media yang memberitakan pasangan A menang, media lain memberitakan pasangan B menang. Ini harus kita ambil pelajaran, sekarang tugas kita terus mendorong integritas media dan terus mendidik masyarakat," jelasnya.
Narasumber lainnya, Dr. Ahmad Mukhlis Yusuf dari Pokja Revolusi Mental mengatakan, berita yang kita sebar wajib memenuhi asas kebenaran dan manfaat. Jika dua hal ini tidak terpenuhi, maka menurutnya solusinya adalah membuat berita yang benar dan bermanfaat.
"Mengutip Presiden pertama Ir. Soekarno, 'kita harus menggembleng manusia Indonesia jadi manusia baru, yang punya integritas, kapasitas dan semangat gotong royong. Kami siap bekerjasama dengan PGRI dan organisasi lainnya. Sekarang saatnya kita bangkit. Mental penikmat konten, harus diganti menjadi pembuat konten. Guru, wartawan, anak muda, pemuka agama, harus mengambil peran sesuai kapasitas masing-masing," tegasnya.
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon