Tamoranews.com - Pro-kontra terhadap tarif internet di Indonesia masih terus bergulir. Sebagian besar beranggapan tarif internet di Indonesia masih mahal, namun lainnya menilai sudah murah.
Lalu bagaimanakah sebenarnya tarif internet dari kacamata para analis saham yang setiap hari memantau perkembangan kinerja perusahaan telekomunikasi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI)?
Victoria Venny, analis saham dari MNC Securites menilai harga internet di Indonesia masih terbilang murah dibandingkan negara-negara lain di dunia. Padahal di negara-negara emerging market dan berkembang itu sudah mematok harga tinggi.
Misalnya, perusahaan telekomunikasi di India menjual paket internetnya antara Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Sedangkan AT&T dan T-Mobile di Amerika Serikat, rata-rata paket yang mereka jual antara Rp 900 ribu hingga Rp 1 juta.
"Memang mereka mematok harga paket internet yang mahal dikarenakan kualitasnya dan keterjangkauannya jauh lebih baik ketimbang operator yang ada di Indonesia," kata Venny dalam paparannya di Jakarta, Saat dilansir dari detikInet, Selasa (9/5/2017).
Sedangkan untuk SingTel di Singapura, rata-rata paket yang mereka keluarkan seharga Rp 300 ribu hingga Rp 600 ribu. Sementara di Indonesia, tarif internet yang dijual operator dalam bentuk paket data dibanderol antara Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu.
"Dengan harga tersebut mereka bisa menjaga kualitas dan keterjangkauan. Seharusnya Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dapat mengatur tarif internet agar keterjangkauan dan kualitas layanan operator telekomunikasi dapat selalu terjaga," masih kata Venny.
Setali tiga uang. Raymond Kosasih, CFA analis dari PT Deutsche Verdhana Sekuritas Indonesia mengatakan bahwa harga paket data di Indonesia berada di harga Rp 14 hingga Rp 23 untuk setiap mega byte (Mb). Padahal di tahun 2011 harga data di Indonesia pernah mencapai Rp 350 per Mb.
"Kami percaya bahwa kenaikan harga data sangat penting untuk meningkatkan profitabilitas industri yang sehat. Kenaikkan bisa dimulai dari Rp 1 untuk setiap Mb. Kenaikan tersebut cukup realistis karena adanya peningkatan daya beli masyarakat," jelas Raymond dalam hasil riset yang dipublikasikan 5 Mei 2017.
Perlu Diatur Regulator
Selain untuk menjaga keterjangkauan dan kualitas, Venny menilai, pengaturan harga oleh BRTI sangat diperlukan agar operator telekomunikasi tidak melakukan perang harga tarif data.
Jika banting-bantingan harga paket data ini terus dilakukan, maka bisa dipastikan kinerja keuangan emiten telekomunikasi akan terganggu. Venny menilai jika perang harga data terus dilakukan oleh operator, pendapatannya tidak akan bisa menanggung beban usahannya.
"Sehingga ujung-ujungnya nanti yang akan dikorbankan adalah kualitas dan pelayanan kepada pelanggan juga," ujarnya.
Lanjut Venny, dalam mengatur tarif internet, seharusnya BRTI dapat meminta masukan dari masing masing operator telekomunikasi di Indonesia. Sebab masing-masing operator memiliki struktur biaya yang berbeda-beda.
Operator yang membangun jaringan hingga pelosok dan daerah-daerah terpencil atau perbatasan tentu memiliki struktur tarif yang jauh lebih besar ketimbang emiten yang hanya membangun di daerah perkotaan saja.
Pembangunan di perkotaan tentu saja membutuhkan biaya yang jauh lebih murah. Untuk membangun jaringan telekomunikasi hingga pelosok negeri memang membutuhkan investasi yang tidak sedikit.
"Sehingga wajar saja jika tarif Indosat dan XL jauh lebih murah ketimbang Telkomsel yang menjadi agen pembangunan pemerintah. Ini yang membuat biaya produksi Telkomsel akan berbeda dengan Indosat dan XL," kata Venny menganalisa.
"Sementara Indosat dan XL hanya menyasar pasar kota besar di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Namun soal kualitas dan keterjangkauan, Telkomsel masih jauh lebih baik dibandingkan emiten telekomunikasi lainnya," paparnya lebih lanjut.
Meski saat ini belum terjadi predatory pricing, namun Venny menilaim hingga saat ini operator telekomunikasi di Indonesia masih menjual harga internet di bawah harga pokok produksi. Ini ditujukan agar konsumen dapat mengenal dan menikmati layanan internet terlebih dahulu.
Namun diakui Venny, nantinya operator akan memiliki kendala ketika mereka ingin menjual paket internetnya sesuai dengan biaya pokok produksinya. Dan ujung-ujungnya, mereka pun bisa saja melakukan penyesuaian tarif alias menaikkan harga.
"Tentu saja masyarakat akan protes jika tarif dinaikkan. Karena mereka sudah merasakan tarif internet yang murah. Namun demikian jika operator terus menjual tarif di bawah harga pokok produksi, maka kinerja keuangan mereka bisa terganggu," ujar Venny.
Namun dalam pandangannya, para pemegang saham dan investor publik sebenarnya sudah menantikan para operator untuk menaikkan tarif internetnya di Indonesia. Tujuan para majority shareholder ini, kata Venny, agar kinerja keuangan perseroan menjadi lebih baik lagi.
Apalagi, menurutnya, hingga saat ini kinerja operator seperti XL dan Indosat masih kurang moncer karena memiliki hutang yang sangat besar. Berbeda jauh dengan Telkomsel yang memiliki struktur permodalan jauh lebih kuat.
"Struktur permodalan XL dan Indosat masih memiliki hutang, baik itu rupiah maupun dollar yang sangat besar. Sehingga ekspansi yang mereka lakukan pun akan semakin terbatas jika dibandingkan dengan Telkomsel. Dengan belanja modal atau capital expenditure (Capex) yang besar tentu saja komitmen pembangunan akan semakin besar,"terang Venny.
Sementara dari kalkulasi yang dibuat Raymond, dengan kenaikan tarif data Rp 1 per Mb, maka akan meningkatkan average revenue per user (ARPU) XL dan Indosat sebesar Rp 1.000 per bulan. Sedangkan kenaikan tarif data Rp 1 per Mb akan meningkatkan ARPU Indosat sebesar Rp 600 per bulan.
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon