Tak seperti halnya dengan pria yang bisa bercinta kapanpun ia mau, konon wanita sulit diprediksi kapan ia ingin dan mau diajak bercinta oleh pasangan. Namun seorang peneliti dari AS mengklaim tahu kapan waktu yang tepat untuk mengajak wanita bercinta.
James Roney, seorang profesor di Department of Psychological and Brain Sciences, University of California, Santa Barbara menemukan dua hormon spesifik yang bertindak sebagai semacam 'saklar seks' di dalam otak wanita yaitu estrogen dan progesterone yang berfungsi selama berlangsungnya siklus menstruasi.
"Kami menemukan sinyal dua hormon yang memberikan efek berlawanan terhadap motivasi seksual wanita. Estrogen memperlihatkan efek positif, meski efeknya baru terlihat dua hari kemudian, sedangkan progesterone memiliki efek negatif yang persisten baik untuk hari ini, kemarin dan dua hari sebelumnya," ungkap Dr. Roney seperti dilansir Emaxhealth, Senin (29/4/2013).
Kesimpulan ini diperoleh setelah peneliti mengumpulkan sampel air liur sejumlah mahasiswi setiap hari selama satu-dua kali siklus menstruasi mereka. Kemudian peneliti mengecek kadar hormon-hormon seks partisipan yaitu estradiol, progesterone dan testosterone-nya dari sampel tersebut. Partisipan juga ditanyai tentang perilaku seksual hariannya, termasuk keinginan mereka untuk bercinta selama studi ini berlangsung.
Dari situ peneliti mengungkap bahwa setelah kadar estrogennya memuncak sepanjang paruh pertama siklus menstruasi, peningkatan kadar progesterone pada pertengahan siklus menuju fase luteal (paruh kedua siklus menstruasi) justru mengakibatkan penurunan perilaku dan keinginan partisipan untuk bercinta.
Artinya, wanita paling pas diajak bercinta ketika kadar estrogennya tengah memuncak, yaitu sepanjang paruh pertama siklus menstruasinya. Itulah mengapa para pria tak boleh mengabaikan siklus menstruasi pasangannya karena hal ini dianggap penting bagi keberlangsungan aktivitas seksualnya. "...dan ini adalah temuan baru pada manusia. Karena selama ini kita hanya tahu pada monyet ada korelasi negatif dengan progesterone-nya dan korelasi positif pada estrogennya. Polanya memang dapat dibandingkan dengan apa yang Anda lihat pada primata, namun kondisi ini belum pernah terlihat pada manusia," catat Dr. Roney.
Dengan kata lain, Dr. Roney dan rekan kerjanya, Zachary L. Simmons menyimpulkan bahwa estrogen dan progesterone dapat dijadikan sebagai alat prediksi hormonal terkait motivasi seksual pada wanita.
Namun yang tak kalah mengejutkan studi ini juga menemukan bahwa testosterone tampaknya hanya memainkan peran kecil dalam memediasi perilaku seksual wanita.
"Dalam berbagai literatur kedokteran seringkali dikatakan jika testosterone merupakan pengatur libido utama wanita. Para dokter juga cenderung percaya dengan hal itu, meskipun buktinya pada manusia tak begitu kuat," kata Dr. Roney.
Menurutnya, fungsi testosterone hanya terbatas pada wanita menopause untuk meningkatkan motivasi seksual mereka dan ada banyak alasan yang mendasarinya. Misalnya, testosterone dapat diubah menjadi estrogen dengan bantuan enzim tertentu. Jadi jika disuntikkan pada wanita menopause, hormon ini bisa jadi bertindak sebagai perangkat yang mengirimkan estrogen ke sel-sel target.
Selain itu, Dr. Roney berharap riset ini dapat diperluas cakupannya pada wanita menikah yang usianya lebih tua untuk melengkapi model prediksi hormonal pada seluruh wanita yang aktif melakukan aktivitas seksual.
"Mahasiswi bisa dikatakan partisipan yang unik karena kadar hormon mereka cenderung sedikit berbeda daripada wanita yang lebih tua. Lagipula wanita yang sudah menikah dan berusia 30-an cenderung lebih konsisten melakukan aktivitas seksual. Mereka juga mengeluarkan hormon dalam jumlah yang lebih banyak, termasuk memiliki siklus menstruasi yang lebih teratur ketimbang wanita yang lebih muda," tutupnya.
Studi ini telah dipublikasikan dalam jurnal Hormones and Behavior.
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon